“The Head Hunters Of Borneo”[03]


The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi. (borneobooks.com).

Jum’at 27 Rabiulakhir 1435|28 Februari 2014

Oleh: Mahandis Y. Thamrin

Editor by Wilhelmina

FortunaMedia.com |Carl Bock Berjumpa dengan Suku Dayak Pemakan Manusia!

Sang penjelajah asal Norway itu terpukau—sekaligus ngeri—melihat penampilan salah satu suku Dayak bertradisi kanibalisme. Bagaimanakah kisah perjumpaan dua peradaban itu?

Sibau Mobang, lelaki berusia sekitar 50-an tahun, ketua suku Dayak Tring yang mempunyai tradisi kanibalisme. Litografi dibuat dari karya lukis Carl Bock antara 1879 dan 1880. “Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” demikian tulis Bock dalam bukunya, “The Head Hunters of Borneo” yang terbit pada 1881.
(Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

“Perjalanan dari Kota Bangun ke permukiman Tring memakan waktu empat hari,” ungkap Carl Alfred Bock. Dia berharap di Muara Pahou dapat menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou. Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka.


“Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman,” ungkap Bock. “Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka.” Sultan Aji Muhammad Sulaiman  khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.


“Saya harus melihat mereka kerana mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,” pinta Bock. “Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka”

 

Pendeta perempuan dari Dayak Tring yang menunjukkan rajah di sekujur pahanya. Telinganya memanjang kerana berbandul logam. Litografi ini berdasar karya lukis Carl Bock antara 1879-1880. Perempuan ini berkata kepada Bock bahwa selain telapak tangan, otak dan daging lutut merupakan hidangan terlezat bagi sukunya. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada khabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. “Apakah mereka telah terbunuh dan dimakan?” demikian keresahan Bock.

Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama  sekitar 40-an warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.

“Seorang pendeta perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock. “Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam..  Selanjutnya, ketiadaan alis mata.” Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.


Litograf berdasar karya Carl Bock 1879-1880 dalam “The Head Hunters of Borneo”. Gambar 1: “Woon”, Dayak Punan yang berkulit gelap asal Kenyah, sisi utara dari Long Wahou. Gambar 2 dan 3: Trofi tengkorak yang diberikan oleh Sibau Mobang yang kanibal kepada Carl Bock. Gambar 3: Topeng yang digunakan dalam tarian perang dalam tradisi Dayak.
(Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

“Bunga-bunga tato di bagian paha juga menjadi hal yang menarik,” ungkapnya. “Rambut mereka yang pendek menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lainnya; dan warna kulit mereka yang lebih cerah berbanding  suku-suka Dayak lainnya, kecuali orang-orang Punan.”

 

Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu “bai, bai” (baik) demikian menurut Bock. “Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya.”  

 

Kemudian seorang ketua  suku Dayak kanibal melawat tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang. Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan dan dua lelaki.

 

“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock. “Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”

 

Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong(tak bergigi) dan kerepot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis (misai) dan dagunya. Cuping-telinganya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker(seram) tentang dirinya.

 “Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, “dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”

 

Namun, “lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock. “Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh bedebah yang haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”

 

Sibau berkata kepada Bock bahwa suku-kaumnya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang ketua  suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi kerana kegagalan panen.

Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.

Sebagai kenang-kenangan, Bock memberikan bingkisan berupa uang dua dolar tiap orang yang telah dilukisnya. Selain itu rombongan Dayak kanibal  mendapat sepikul beras, untaian tasbih manik-manik, kain blacu yang panjangnya sekitar 22 meter untuk dibagi bersama.

Sementara, Ketua Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak—lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala. Semuanya dibungkus daun pisang.

Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.

Kisah penjelajahannya dibukukan dalam The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.

Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. “Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa,” ungkap Bock, “berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”

Tamat.

Leave a comment